Layaknya daerah lain, Belanda pun memperluas kekuasaannya dengan menduduki Jambi. Akibatnya pada tahun 1958, Sultan Thaha yang saat itu memerintah kesultanan Jambi harus menyingkir dari keraton dan melakukan perang gerilya. Perlawanan terhadap dilakukan sudah gencar dilakukan sejak tahun 1855, yakni saat Sultan Thaha naik takhta menjadi Raja Jambi. Usahanya itu dilakukan dengan menggalang kekuatan takyat dan bekerja sama dengan raja Sisingamangaraja. Belanda pun melakukan politik adu domba untuk meruntuhkan kekuasaan Sultan Thaha. Belanda mengangkat salah seorang putera sultan yang masih berusia tiga tahun menjadi Putera Mahkota. Untuk mendampingi putera mahkota yang masih muda itu diangkat dua orang wali yang memihak kepada Belanda. Namun, usaha untuk mengadu domba itu tidak berhasil karena kerabat istana dan rakyat tetap bersikap melawan Belanda.
![]() |
Djambi Tempoe Doeloe [sumber: disperindag.jambiprov.go.id] |
Karena usahanya gagal, Belanda pun menyerukan perang dengan mendatangkan bala pasukan dari Magelang lewat Semarang dan Palembang. Pada tanggal 31 Juli 1901, Pasukan Belanda mendapatkan perlawanan sengit di Sarolangun. Kendati demikian, Belanda tetap bersikukuh menumpas Sultan Thaha beserta pengikutnya. Pengejaran terus dilakukan bahkan sampai ke pedalaman namun mereka hanya dapat menawan segelintir kecil pengikut Sultan. Dengan berbagai muslihat, Belanda akhirnya berhasil menemukan markas pejuang dan melakukan penyerbuan pada tahun 1904 di Sungai Aro. Tetapi lagi-lagi Sultan berhasil lolos meskipun harus kehilangan dua orang panglimanya, Jonang Buncit dan Berakim Panjang. Sampai Sultan tutup usia di Muara Tebo pada tanggal 26 April 1904 dalam usia 88 tahun, Belanda tak pernah mampu menangkapnya.
Setelah gugurnya Sultan Thaha, Belanda menguasai wilayah Jambi sepenuhnya. Dilansir dari website Kemendikbud, pada tahun 1906 Belanda mulai membentuk administrasi pemerintahan di Jambi. Hal ini berarti Jambi melepaskan diri dari keresidenan Palembang. O.L. Helfrich yang sebelumnya menjabat sebagai Asisten Residen Palembang menjadi residen pertama di Jambi. Pemerintahan di Jambi berturut-turut dari level teratas sampai terbawah adalah Residen, Kontrolir, Demang, Asisten Demang, Kepala Adat, Penghulu/Kepala Dusun, dan Rakyat.
Meski telah menduduki Jambi, masih banyak masyarakat yang tidak mengakui pemerintahan kolonial Belanda. Pada tahun 1916 muncul perlawanan dari masyarakat yang dinamakan perang Sarikat Abang. Perlawanan ini dapat dihentikan oelh Belanda dan tokoh-tokoh perlawanannya disidangkan dalam suatu pengadilan yang dinamakan Pengadilan Rapat Besar Istimewa. Mereka kemudian dibuang ke Digul, Ternate, dan Nusa Kambangan.
Pasca perlawanan tersebut, Belanda semakin memperketat ruang gerak rakyat. Perkumpulan, organisasi, dan sekolah menjadi kegiatan yang haram dilakukan. Setelah H. Nawawi, H.M. Chatib A.T. Hanafiah, dan tokoh lainnya memperjuangkan pendirian sekolah, beberapa sekolah akhirnya dapat berdiri meskipun dengan pengawasan yang ketat. Pada tahun 1939, lahirlah beberapa partai politik karena pengaruh dari tanah Jawa. Adanya partai politik ini membuka mata masyarakat untuk berjuang ditambah lagi kondisi Eropa yang saat itu sedang krisis karena perang sehingga ada celah untuk merdeka.
Harapan itu kian besar tatkala Jepang mendarat di Jambi. Rakyat tertipu dengan propaganda “Sang Saudara Tua” yang mengatakan bahwa mereka akan memberi kemakmuran. Namun janji Jepang tersebut hanya buaian belaka. Alih-alih mensejahterakan rakyat Jambi, Jepang menerapkan pemerintahan yang kejam. Bahan pangan yang dimiliki rakyat dirampas, dan sebagian rakyat dijadikan romusha. Berbagai kegiatan politik dilarang bahkan kegiatan sehari-hari pun dimata-matai oleh tentara Jepang. Rakyat Jambi sekali lagi harus menanggung derita penjajahan hingga Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945.